Geografi/totok endrawan
Lagu Indonesia Raya menggema di Aula Utama Gedung A3 lantai 2 Universitas Negeri Malang (UM) sebagai salah satu rangkaian acara Kuliah Umum berjudul 'Ekologi Politik Dalam Fenomena Lumpur Lapindo, Rabu (08/02/20012) dengan pemateri Vinsensius Santoso, yang merupakan peneliti Java Collaps dan mantan team Ad Hoc Penyelidikan Pro Justicia Komnas HAM Kasus Lumpur Lapindo. As'ad Syamsul Arifin, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UM, ditunjuk sebagai moderator dalam kuliah umum ini.
Acara yang diselenggarakan oleh BEM FIS tersebut dihadiri sekitar 100 peserta yang terdiri dari kalangan mahasiswa serta umum, turut hadir pula Dekan FIS UM, Prof. Dr. Hariyono, M.Pd.
Dalam Sambutannya, Ia berkata, "Lapindo bukan hanya dilihat dari unsur fisik dan geografis, namun juga perlu dilihat dari unsur politik didalamnya, tentu hal ini dapat dibahas dengan multidisipliner ilmu yang ada dalam FIS" ."Lapindo ini bencana alam atau bencana ekologis?" tanya Vinsen, yang melontarkan pertanyaan pembukaan, sekaligus topik utama pada materi kuliah umum kali ini. Dalam kesempatannya, Vinsen mengulas mengenai perbedaan antara bencana alam dan bencana ekologis. Bencana alam disebabkan oleh proses alam, sedangkan bencana ekologis disebabkan oleh cara hidup lingkungannya yang rusak. Ia juga memaparkan mengenai wilayah kerja pengeboran Blok Lapindo yang terletak di khawasan pertanian serta dekat dengan pemukiman, dan keluar dari ketentuan wilayah Blok Brantas.
Ketika fenomena ini dikaitkan dengan politik, Vinsen memaparkan secara jeli sejarah Lapindo Brantas. Ia berhasil menemukan temuan bahwa lumpur Lapindo keluar mulai tanggal 23 Mei 2006 sebelum Gempa Jogja, jadi tidak ada kaitannya bencana ini dengan Gempa Jogja. Penanganan dari pemerintah juga terkesan lamban untuk masalah Lapindo, padahal kerugian yang dialami cukup besar dengan menghabiskan delapan triliun lebih dana APBN. Hingga saat ini, Lapindo telah menggenangi 18 desa, 3 kecamatan, 1000 hektar lahan, serta merugikan 40.000 penduduk yang terkena dampaknya secara langsung.
Diakhir Kuliah Umum, disimpulkan bahwa sebenarnya fenomena Lumpur Lapindo ini merupakan bencana ekologis, serta terdapat penghapusan identitas sosial dalam masyarakat yang menjadi kerugian secara tidak langsung. Untuk penangananya, tentu dibutuhkan ketegasan dari pemerintah agar masalah ini cepat terselesaikan
Lagu Indonesia Raya menggema di Aula Utama Gedung A3 lantai 2 Universitas Negeri Malang (UM) sebagai salah satu rangkaian acara Kuliah Umum berjudul 'Ekologi Politik Dalam Fenomena Lumpur Lapindo, Rabu (08/02/20012) dengan pemateri Vinsensius Santoso, yang merupakan peneliti Java Collaps dan mantan team Ad Hoc Penyelidikan Pro Justicia Komnas HAM Kasus Lumpur Lapindo. As'ad Syamsul Arifin, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FIS) UM, ditunjuk sebagai moderator dalam kuliah umum ini.
Acara yang diselenggarakan oleh BEM FIS tersebut dihadiri sekitar 100 peserta yang terdiri dari kalangan mahasiswa serta umum, turut hadir pula Dekan FIS UM, Prof. Dr. Hariyono, M.Pd.
Dalam Sambutannya, Ia berkata, "Lapindo bukan hanya dilihat dari unsur fisik dan geografis, namun juga perlu dilihat dari unsur politik didalamnya, tentu hal ini dapat dibahas dengan multidisipliner ilmu yang ada dalam FIS" ."Lapindo ini bencana alam atau bencana ekologis?" tanya Vinsen, yang melontarkan pertanyaan pembukaan, sekaligus topik utama pada materi kuliah umum kali ini. Dalam kesempatannya, Vinsen mengulas mengenai perbedaan antara bencana alam dan bencana ekologis. Bencana alam disebabkan oleh proses alam, sedangkan bencana ekologis disebabkan oleh cara hidup lingkungannya yang rusak. Ia juga memaparkan mengenai wilayah kerja pengeboran Blok Lapindo yang terletak di khawasan pertanian serta dekat dengan pemukiman, dan keluar dari ketentuan wilayah Blok Brantas.
Ketika fenomena ini dikaitkan dengan politik, Vinsen memaparkan secara jeli sejarah Lapindo Brantas. Ia berhasil menemukan temuan bahwa lumpur Lapindo keluar mulai tanggal 23 Mei 2006 sebelum Gempa Jogja, jadi tidak ada kaitannya bencana ini dengan Gempa Jogja. Penanganan dari pemerintah juga terkesan lamban untuk masalah Lapindo, padahal kerugian yang dialami cukup besar dengan menghabiskan delapan triliun lebih dana APBN. Hingga saat ini, Lapindo telah menggenangi 18 desa, 3 kecamatan, 1000 hektar lahan, serta merugikan 40.000 penduduk yang terkena dampaknya secara langsung.
Diakhir Kuliah Umum, disimpulkan bahwa sebenarnya fenomena Lumpur Lapindo ini merupakan bencana ekologis, serta terdapat penghapusan identitas sosial dalam masyarakat yang menjadi kerugian secara tidak langsung. Untuk penangananya, tentu dibutuhkan ketegasan dari pemerintah agar masalah ini cepat terselesaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar