Geografi/totok endrawan
Konsep pembangunan berkelanjutan belum terlihat jelas, kendati
berbagai konvensi internasional dan pertemuan-pertemuan besar telah melahirkan
berbagai gagasan maupun kesepakatan termasuk yang mempunyai implikasi hukum
secara internasional. Namun demikian, pada garis besarnya proses menuju pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan meliputi tindakan-tindakan di bidang kebijakan publik yang
meliputi antara lain:
1. Kebijakan konservasi dan diversifikasi energi, ke arah pengurangan penggunaan
energi fosil dan makin dominannya penggunaan energi alternatif yang ramah
lingkungan.
2. Kebijakan kependudukan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk sampai ke
tingkat yang dapat ditenggang oleh keberadaan sumber daya alam dan dapat terlayani
baik oleh fasilitas publik di bidang kesejahteraan rakyat.
3. Kebijakan spatial untuk menjamin penggunaan ruang wilayah sehingga berbagai
kegiatan ekonomi manusia dapat berjalan secara serasi didukung oleh infrastruktur
fisik yang memadai, sekaligus juga menyediakan sebagian ruang alam di darat dan di
perairan untuk konservasi sumber daya alam.
4. Kebijakan untuk menanamkan budaya dan gaya hidup hemat, bersih dan sehat,
sehingga kualitas hidup manusia dapat terjamin dengan menghindarkan pemborosan
energi, material dan mengurangi tindakan medik kuratif.
5. Kebijakan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan untuk menjamin
tersedianya kebutuhan dasar manusia akan air bersih, udara bersih, sumber-sumber
makanan dan pencegahan bencana.
6. Kebijakan di bidang hukum, informasi, pemerintahan, ekonomi, fiskal dan pendidikan
dan lainnya untuk menunjang hal-hal di atas.
Elemen-elemen kebijakan di atas telah hadir di Indonesia sejak didirikannya
kelembagaan lingkungan hidup pada tahun 1978, namun sampai hari ini pembangunan
berkelanjutan masih belum mencapai tahapan yang signifikan. Bahkan dewasa ini
berbagai masalah kronis yang mengancam integritas lingkungan masih saja terjadi,
malahan mengalami eskalasi seperti penebangan kayu illegal, kebakaran hutan,
kelangkaan air bersih dan turunnya kualitas udara di daerah-daerah urban.
Perusakan dan pencemaran lingkungan menjadi gejala ekskalasi bersamaan dengan
terjadinya transisi besar-besaran di segala bidang yaitu politik, pemerintahan, ekonomi
sehingga tercipta ketidakpastian berdimensi besar, yang tampakan utamanya adalah
krisis kepercayaan dan hilangnya kepercayaan terhadap masa depan. Dari sudut
pembangunan berkelanjutan, maka problem lingkungan sebagai bagian dari problem
transisi merupakan ancaman karena memicu meluasnya proses pemiskinan justru
terhadap lapisan masyarakat yang rentan terhadap dampak negatif pencemaran dan
perusakan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari turunnya peringkat Human Development
Index UNDP untuk Indonesia ke tingkat 112 dari 175 yang dipantau. Krisis di Indonesia
menyebabkan turunnya kapasitas pemerintah untuk melakukan proteksi lingkungan dalam
keadaan dimana kemampuan pemerintah untuk melanjutkan pelayanan dasar kepada
masyarakat miskin juga berkurang. Oleh karena itu bagi sebagian besar orang Indonesia
yang terlilit kemiskinan, pembangunan bukan saja tidak lagi relevan, namun juga
merupakan ancaman. Dalam pengertian inilah kemudian pembangunan berkelanjutan
menjadi terancam dan setiap langkah membangun mendapat perlawanan, bukan karena
sikap pemberontakan, tetapi sebagai mekanisme defensif untuk menghindar dari
pemiskinan.
Dalam situasi seperti ini Pemerintah menghadapi dilema. Disatu pihak Pemerintah
memerlukan penegakan hukum untuk memulihkan ketertiban umum sebagai syarat
terwujudnya stabilitas demi pembangunan. di pihak lain pemerintah juga tidak mampu
mewujudkan "trade off" berupa perbaikan pelayanan dasar di bidang kesejahteraan rakyat
dan juga tidak punya daya untuk melakukan proteksi lingkungan. Di samping itu
penegakan hukum bisa menjadi kontra produktif karena kenyataan bahwa aparat penegak
hukum dalam pengertian yang luas adalah justru produsen ketidakadilan yang paling
terkemuka.
Dengan demikian reformasi di bidang hukum menjadi mendesak karena menyangkut
asas yang paling hakiki yang bersangkutan dengan pembangunan berkelanjutan,
utamanya untuk mengatasi kemiskinan, yaitu asas keadilan.
Masalahnya adalah bahwa reformasi hukum merupakan agenda jangka panjang yang
memerlukan waktu lama sebelum hasilnya tampak. Komitmen untuk reformasi hukum
juga sulit diwujudkan selama elit Indonesia tidak mampu keluar dari paradigma
"developmental bureaucratic polity" yang merupakan kunci sukses pemerintahan orde
baru, dan belum melihat korupsi sebagai sumber malapetaka nasional. Kesukaran keluar
dari paradigma tersebut diatas bersumber antara lain karena lingkungan hidup belum
menjadi arus utama reformasi dan juga belum terintegrasi dalam kebijakan secara utuh,
walaupun secara elemen yang sifatnya kepingan pertimbangan tersebut sudah hadir. Di
bidang hukum, lingkungan hidup masih dipandang sebagai cabang hukum yang berstatus
junior, dan belum terintegrasi secara signifikan dalam kerangka legal secara menyeluruh.
Dalam situasi seperti ini upaya untuk menanamkan pemihakan terhadap produk ramah
lingkungan hanya mempunyai manfaat terbatas, yaitu di kalangan publik yang justru
cukup makmur untuk menghindar dari problem lingkungan dan mempunyai akses
terhadap informasi tentang hadirnya produk-produk seperti itu. Kebijakan publik yang
ramah lingkungan seperti kebijakan energi alternatif, justru akan mempunyai dampak
positif yang luas. Berlainan dengan situasi di negara-negara maju dimana produk ramah
lingkungan sudah bisa menjadi penentu dan pendorong pasar. Di Indonesia hal seperti itu
belum bisa terwujud meluas karena elit dan masyarakatnya masih mempunyai persepsi
dan prioritas yang berbeda. Hukum yang seharusnya menjadi jembatan yang
menghubungkan sekian banyak pamrih yang berlainan, masih berfungsi sebagai
instrumen kekuasaan yang implementasinya justru kontra produktif terhadap tujuan-tujuan
normatif hukum itu sendiri
Konsep pembangunan berkelanjutan belum terlihat jelas, kendati
berbagai konvensi internasional dan pertemuan-pertemuan besar telah melahirkan
berbagai gagasan maupun kesepakatan termasuk yang mempunyai implikasi hukum
secara internasional. Namun demikian, pada garis besarnya proses menuju pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan meliputi tindakan-tindakan di bidang kebijakan publik yang
meliputi antara lain:
1. Kebijakan konservasi dan diversifikasi energi, ke arah pengurangan penggunaan
energi fosil dan makin dominannya penggunaan energi alternatif yang ramah
lingkungan.
2. Kebijakan kependudukan untuk menahan laju pertumbuhan penduduk sampai ke
tingkat yang dapat ditenggang oleh keberadaan sumber daya alam dan dapat terlayani
baik oleh fasilitas publik di bidang kesejahteraan rakyat.
3. Kebijakan spatial untuk menjamin penggunaan ruang wilayah sehingga berbagai
kegiatan ekonomi manusia dapat berjalan secara serasi didukung oleh infrastruktur
fisik yang memadai, sekaligus juga menyediakan sebagian ruang alam di darat dan di
perairan untuk konservasi sumber daya alam.
4. Kebijakan untuk menanamkan budaya dan gaya hidup hemat, bersih dan sehat,
sehingga kualitas hidup manusia dapat terjamin dengan menghindarkan pemborosan
energi, material dan mengurangi tindakan medik kuratif.
5. Kebijakan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan untuk menjamin
tersedianya kebutuhan dasar manusia akan air bersih, udara bersih, sumber-sumber
makanan dan pencegahan bencana.
6. Kebijakan di bidang hukum, informasi, pemerintahan, ekonomi, fiskal dan pendidikan
dan lainnya untuk menunjang hal-hal di atas.
Elemen-elemen kebijakan di atas telah hadir di Indonesia sejak didirikannya
kelembagaan lingkungan hidup pada tahun 1978, namun sampai hari ini pembangunan
berkelanjutan masih belum mencapai tahapan yang signifikan. Bahkan dewasa ini
berbagai masalah kronis yang mengancam integritas lingkungan masih saja terjadi,
malahan mengalami eskalasi seperti penebangan kayu illegal, kebakaran hutan,
kelangkaan air bersih dan turunnya kualitas udara di daerah-daerah urban.
Perusakan dan pencemaran lingkungan menjadi gejala ekskalasi bersamaan dengan
terjadinya transisi besar-besaran di segala bidang yaitu politik, pemerintahan, ekonomi
sehingga tercipta ketidakpastian berdimensi besar, yang tampakan utamanya adalah
krisis kepercayaan dan hilangnya kepercayaan terhadap masa depan. Dari sudut
pembangunan berkelanjutan, maka problem lingkungan sebagai bagian dari problem
transisi merupakan ancaman karena memicu meluasnya proses pemiskinan justru
terhadap lapisan masyarakat yang rentan terhadap dampak negatif pencemaran dan
perusakan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari turunnya peringkat Human Development
Index UNDP untuk Indonesia ke tingkat 112 dari 175 yang dipantau. Krisis di Indonesia
menyebabkan turunnya kapasitas pemerintah untuk melakukan proteksi lingkungan dalam
keadaan dimana kemampuan pemerintah untuk melanjutkan pelayanan dasar kepada
masyarakat miskin juga berkurang. Oleh karena itu bagi sebagian besar orang Indonesia
yang terlilit kemiskinan, pembangunan bukan saja tidak lagi relevan, namun juga
merupakan ancaman. Dalam pengertian inilah kemudian pembangunan berkelanjutan
menjadi terancam dan setiap langkah membangun mendapat perlawanan, bukan karena
sikap pemberontakan, tetapi sebagai mekanisme defensif untuk menghindar dari
pemiskinan.
Dalam situasi seperti ini Pemerintah menghadapi dilema. Disatu pihak Pemerintah
memerlukan penegakan hukum untuk memulihkan ketertiban umum sebagai syarat
terwujudnya stabilitas demi pembangunan. di pihak lain pemerintah juga tidak mampu
mewujudkan "trade off" berupa perbaikan pelayanan dasar di bidang kesejahteraan rakyat
dan juga tidak punya daya untuk melakukan proteksi lingkungan. Di samping itu
penegakan hukum bisa menjadi kontra produktif karena kenyataan bahwa aparat penegak
hukum dalam pengertian yang luas adalah justru produsen ketidakadilan yang paling
terkemuka.
Dengan demikian reformasi di bidang hukum menjadi mendesak karena menyangkut
asas yang paling hakiki yang bersangkutan dengan pembangunan berkelanjutan,
utamanya untuk mengatasi kemiskinan, yaitu asas keadilan.
Masalahnya adalah bahwa reformasi hukum merupakan agenda jangka panjang yang
memerlukan waktu lama sebelum hasilnya tampak. Komitmen untuk reformasi hukum
juga sulit diwujudkan selama elit Indonesia tidak mampu keluar dari paradigma
"developmental bureaucratic polity" yang merupakan kunci sukses pemerintahan orde
baru, dan belum melihat korupsi sebagai sumber malapetaka nasional. Kesukaran keluar
dari paradigma tersebut diatas bersumber antara lain karena lingkungan hidup belum
menjadi arus utama reformasi dan juga belum terintegrasi dalam kebijakan secara utuh,
walaupun secara elemen yang sifatnya kepingan pertimbangan tersebut sudah hadir. Di
bidang hukum, lingkungan hidup masih dipandang sebagai cabang hukum yang berstatus
junior, dan belum terintegrasi secara signifikan dalam kerangka legal secara menyeluruh.
Dalam situasi seperti ini upaya untuk menanamkan pemihakan terhadap produk ramah
lingkungan hanya mempunyai manfaat terbatas, yaitu di kalangan publik yang justru
cukup makmur untuk menghindar dari problem lingkungan dan mempunyai akses
terhadap informasi tentang hadirnya produk-produk seperti itu. Kebijakan publik yang
ramah lingkungan seperti kebijakan energi alternatif, justru akan mempunyai dampak
positif yang luas. Berlainan dengan situasi di negara-negara maju dimana produk ramah
lingkungan sudah bisa menjadi penentu dan pendorong pasar. Di Indonesia hal seperti itu
belum bisa terwujud meluas karena elit dan masyarakatnya masih mempunyai persepsi
dan prioritas yang berbeda. Hukum yang seharusnya menjadi jembatan yang
menghubungkan sekian banyak pamrih yang berlainan, masih berfungsi sebagai
instrumen kekuasaan yang implementasinya justru kontra produktif terhadap tujuan-tujuan
normatif hukum itu sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar